Feeds:
Posts
Comments

Salman Al-Farisi

Jalan terjal dilalui Salman dalam meruntut jejak Tuhannya. Terpisah dari orang yang dicintai, dirampok, dan menjadi budak. Lalu turunlah rahmat Allah sebagai hadiah atas kesabarannya.

Salman al-Farisi adalah sahabat Rasul yang mahir mengatur strategi perang. Ia terkenal cerdas, seperti sahabat Nabi lain yang berasal dari Persia. Ini dibuktikan saat terjadi Perang Khandaq.

Menghadapi pasukan musuh yang berkoalisi, umat Islam berhasil meraih kemenangan. Dua puluh empat ribu pasukan musuh dibuat porak-poranda. Berkat parit yang diusulkan Salman disertai pertolongan Allah yang mendatangkan angin topan. Musuh-musuh agama Allah itu pulang dengan tangan hampa. Hati mereka kecewa karena kalah. Sejak itu nama Salman makin bersinar di kalangan sahabat. Pemuda dengan rambut panjang dan tubuh kekar itu memiliki kecerdasan akal.

Salman berasal dari Isfahan, tepatnya sebuah tempat yang bernama Jai di Persia. Ia dibesarkan dari lingkungan keluarga berkecukupan. Seluruh keperluan hidupnya terpenuhi.

Ia anak kesayangan orang tuanya. Bapaknya adalah tokoh berpengaruh dalam kabilahnya, yaitu sebuah masyarakat yang menyembah dan menjadikan api sebagai Tuhan alias Majusi atau Zoroaster.

Salman termasuk penyembah api yang setia. Sebagian hidupnya ia sedekahkan bagi kemuliaan agama leluhur. Merelakan dan menyerahkan dirinya menjaga api untuk tetap menyala.

Sebagai orang kaya dan terhormat, orang tua Salman memiliki banyak tanah. Bahkan karena banyak lahan yang dimiliki, ayah Salman tidak mungkin memeriksa tanahnya satu per satu. Kerap ia meminta Salman melakukan pekerjaan mengontrol sawah dan perkebunan itu.

Suatu hari, dalam perjalanan menuju kebun, Salman melewati sebuah gereja yang padat dengan jamaah. Mereka tengah khusyuk melakukan ibadah. Heran dan kagum tumbuh dalam hati Salman begitu menyaksikan cara sembahyang yang belum pernah dilihatnya. Cara beribadah lain yang membuat hati Salman penasaran.

Ia mengikuti kemauan kakinya melangkah untuk masuk ke dalam gereja tersebut. Makin dalam ia melangkah ke dalam gereja, tiba-tiba hatinya berbisik, menyatakan, cara sembahyang yang dilihatnya jauh lebih baik dari cara masyarakatnya selama ini.

Sehari lamanya Salman memperhatikan prosesi ibadah di gereja itu hingga lupa akan tugas yang diberikan sang bapak. Ia bahkan lupa pulang ke rumah sehingga orang tuanya mengutus pesuruh untuk menjemput.

Ketika kembali ke rumah gundah hatinya makin kuat terutama keraguan yang muncul dari lubuk hatinya setelah ia menyaksikan cara beribadah agama yang berasal dari Syuriah itu.

Sesampainya di rumah, bukan keadaan kebun yang dilaporkan Salman kepada sang bapak. Ia malah bercerita tentang pengalaman yang dijumpainya di gereja. Mendiskusikan dengan bapaknya, bahkan memuji agama baru itu di depan orang tuanya sehingga tak tahan. Ia lantas merantai dan mengurung Salman di sebuah gudang.

Perlakuan yang diterima membuat Salman meyakini kebenaran agama Nasrani terutama setelah sang bapak berbuat kasar karena kalah dalam diskusi. Salman lantas mengirim berita kepada jemaah pemeluk agama dari Syuriah itu. Ia menyatakan, dirinya telah menyembah Allah, seperti mereka. Ia juga meminta agar memberitahukan kepadanya bila ada rombongan Nasrani dari Syuriah yang datang agar bisa turut serta dengan mereka bila hendak kembali ke Syuriah suatu hari nanti.

Di luar dugaan, permintaan itu dipenuhi. Suatu hari datang kabar dari seorang pembantu Salman yang masih setia. Ia mengatakan, serombongan orang Syuriah akan kembali ke negara mereka. Berita itu sontak membuat hati Salman berbunga-bunga. Ia sangat gembira menerima berita itu. Angannya menerawang, membayangkan betapa ia bakal menjalani perjalanan yang menyenangkan.

Dengan sekuat tenaga diputusnya rantai yang membelenggu. Ia mendobrak gudang tempat ia dipasung. Lantas melarikan diri ke Syuriah bersama rombongan yang hendak menuju ke negara asal agama Nasrani itu. Selama menempuh perjalanan, semua hal yang terkait dengan agama Nasrani ia tanyakan kepada rombongan, satu per satu, dengan perasaan yang bahagia.

Sampai di sana, Salman menanyakan orang yang ahli dan tekun menjalankan agama mereka. “Orang itu adalah uskup dan pemimpin gereja,” kata mereka memberi jawab. Salman lalu datang kepadanya dan menceritakan kisah yang sudah dijalani, lantas menyerahkan diri dan mengabdi kepada uskup, sang pemimpin agama itu.

Setelah beberapa saat, Salman sadar akan perilaku buruk uskup itu. Meski sering berkhotbah, ia selalu menipu umatnya. Uskup itu mengumpulkan harta dengan alasan untuk amal buat dibagikan kepada orang miskin. Tetapi setelah harta itu terkumpul, sang uskup malah menyimpan untuk kepentingan diri sendiri. Hal itu terjadi berulang kali dan diketahui Salman secara pasti. Penipuan tersebut terjadi berkali-kali, terus-menerus, hingga sang uskup meninggal.

Sepeninggal uskup, masyarakat mengangkat pemimpin gereja yang baru. Ia orang yang baik dalam berperilaku. Saleh menjalankan perintah agama. Selalu tepat waktu melaksanakan peribadatan.

Perilaku ini membuat Salman kagum. Secara pelan tumbuh rasa cinta dan keikhlasan membantu uskup itu mengembangkan agama Nasrani. Terutama karena yang dilakukan dan yang dikatakan uskup sama benar dan baiknya. Sehingga ia rela melayani kebutuhan uskup itu setiap hari dengan ikhlas. Bertahun-tahun Salman melayaninya hingga datang waktu uskup itu menjelang ajalnya. Sebelum datang kematiannya, Salman menemuinya, “Ke mana sebaiknya saya pergi, untuk mengabdi sekaligus belajar agama kepada orang seperti Anda?” tanya Salman dengan suara parau.

Uskup itu menjawab, “Aku tidak mengerti ke mana seharusnya kamu pergi, anakku. Tetapi sepengetahuanku, tidak ada orang yang berperilaku sepertiku, kecuali seorang yang hidup dan tinggal di Mosul.”

Salman akhirnya berangkat ke Mosul, wilayah Irak. Sesampainya di sana ia ceritakan kisah perjalanan hidupnya. Ia mengabdi kepada orang yang ditunjukkan uskup sebelumnya sampai datang saat ajal hendak menjemput orang itu. Sebelum uskup itu meninggal Salman telah bertanya, ke mana ia harus pergi sepeninggalnya nanti. Orang itu berkata agar Salman pergi ke Amurian di Byzantium. Sesampainya di sana, Salman segera menemui orang yang ditujunya. Hingga ia tinggal, mengabdi, sembari beternak lembu dan domba.

Ketika dia harus meninggalkan Byzantium karena ajal telah mendekati bapak angkatnya, Salman gundah. Ia tak tahu harus ke mana. Sampai akhirnya, ayah angkat itu pun berkata, “Hai anakku, aku tidak tahu siapa orang yang sejalan denganku sehingga aku tidak tahu ke mana kau harus pergi. Tetapi kau sudah dekat dengan masa di mana akan datang nabi pengikut Nabi Ibrahim. Ia akan hijrah ke tempat yang banyak ditumbuhi pohon kurma. Ikutilah dia. Karena dia mudah dikenali. Ia tidak makan sedekah, tetapi ia mau menerima hadiah. Di antara dua pundaknya terdapat tanda-tanda kenabian.”

Pada hari berikutnya, secara kebetulan lewat serombongan orang yang menuju ke Jariah Arab. “Aku berikan domba dan lembu ini pada kalian jika kalian mau membawaku ke negeri asal kalian,” kata Salman kepada pemimpin rombongan. Mereka setuju membawa Salman turut serta. Sehingga sampailah Salman di Wadi Al-Quro.

Tetapi hati Salman sedih. Ia merasa telah ditipu. Sebab, ternyata mereka telah menjual Salman kepada seorang Yahudi sebagai budak belian. Begitupun Salman masih berharap. Ia yakin, pesan yang disampaikan bapak angkat yang terakhir bakal menjadi kenyataan. Karena dia melihat banyak pohon kurma tumbuh di sekitarnya. Tetapi impian itu ternyata masih jauh dari kenyataan. Karena ia tetap tinggal di Wadi Al-Quro, bersama orang Yahudi yang membelinya.

Setiap hari ia harus bekerja sebagai budak. Berbagai pekerjaan berat harus dia lakukan. Sekali saja membantah majikan, tangan, cambuk, atau caci maki, pasti akan diterimanya. Itu berjalan terus-menerus.

Seperti sudah digariskan, beberapa lama setelah itu, Salman dijual pemiliknya. Kali ini ia dibeli orang dari Bani Quraidhah yang tinggal di Medinah. Suatu hari, ketika dia sedang memetik kurma, datang sepupu tuannya sambil terbirit-birit. Ia mengabarkan, “Aku lihat dengan mataku sendiri, banyak orang berkerumun mengelilingi seorang lelaki yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai nabi.”

Secara tidak sadar tubuh Salman bergetar setelah mendengar berita itu. Ia bahkan nyaris terjatuh menimpa tuannya yang ada di bawah. Pada malam harinya, Salman segera mengumpulkan barang-barang yang ia punya. Lantas pergi ke Quba, pinggiran kota Yastrib, untuk menemui laki-laki yang disebut nabi itu.

“Saudara-saudara adalah pendatang. Saya yakin, Tuan-tuan memerlukan makanan. Terima dan makanlah sedekah saya ini,” kata Salman. Seseorang dari mereka lantas menerima makanan itu. Lalu ia menyerahkan makanan sedekah itu kepada para sahabat. Sementara Nabi sendiri tidak ikut menikmatinya.

Keesokan harinya Salman kembali menemui rombongan itu. “Saudaraku, semalam saya melihat Anda tidak mau makan sedekah yang aku berikan, terimalah ini makanan dariku sebagai hadiah buat Anda,” kata Salman dengan hati-hati.

Tak lama berselang, orang yang semalam menerima itu kembali menerima bingkisan yang dibawa Salman. “Atas nama Allah makanlah hadiah ini,” kata sipenerima sembari ikut menikmati makanan yang diterimanya.

Pada hari yang lain Salman kembali datang. Dillihatnya, orang yang sudah dua kali menerima makanannya mengenakan dua lembar kain dipundak. Sembari membungkuk, Salman mengucap salam kepadanya. Tanpa dinyana, orang itu malah menyingkapkan kain penutup itu, sehingga terlihat tanda-tanda kenabian, seperti yang disampaikan pendeta Nasrani itu.

Lutut Salman lantas bergetar hebat. Ia lantas semakin mendekat ke arah Rasulullah, menangis, seraya mencium tangannya. Menceritakan semua kisah dan kejadian yang telah dia alami. Seketika itu ia menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad dan mengucapkan dua kalimah syahadat.

Hamzah, Paman Nabi

Mengetahui bahwa kemenakannya dianiaya, Singa Gurun itu marah. Seandainya Muhammad itu orang lain, atau unta yang tersesat dari pegunungan terpencil, ia pun pasti akan murka mendengar perbuatan Abu-Jahal yang sewenang-wenang itu.

Walaupun, menurut silsilah Hamzah adalah seorang paman, usia-nya tidak jauh berbeda dengan Muhammad SAW. Ia paman paling muda. Di kalangan para jawara Quraisy, ia termasuk seorang jagoan yang paling ditakuti, selain Umar bin Khaththab. Ia bahkan diunggulkan untuk mengimbangi sejumlah pemuda Quraisy yang telah menjadi pemeluk agama Islam. Dengan Hamzah masih berada di kubu kaum musyrikin, Abu Jahal merasa kuat dan berani malang-melintang, mengejek, dan menyiksa bekas anak buahnya yang telah menyeberang sebagai pengikut Muhammad.

Namun, Hamzah adalah Hamzah, putra Abdul Muthalib. Meskipun dengan ayah Muhammad ia tidak seibu, karena dilahirkan dari istri Abdul Muthalib yang bernama Halah, sedangkan Abdullah dari istri tua yang bernama Fatimah, rasa kekeluargaannya dengan Muhammad sangat melekat. Apalagi ia bukan saja seorang paman, melainkan juga saudara sepersusuan, sebab waktu kecilnya pernah menjadi anak asuh Tsuwaibah dn Halimatus Sa’diyah, yang juga menyusui Muhammad semasa bayinya.

Dari itu, bisa dibayangkan, alangkah berangnya Hamzah ketika Salma, sahaya Shafiyah binti Abdul Muthalib, datang kepadanya seraya berkata terpatah-patah, “Wahai Hamzah, Abu Amarah. Gelarmu adalah Biang Kemarahan. Maka engkau pasti amat murka bila menyaksikan bagaimana si terkutuk Abu Jahal, Biang Kebodohan itu, menyiksa kemenakanmu dengan semena-mena.”

Muka Hamzah memerah. Sebab sudah sering didengarnya keganasan Abu Jahal terhadap kemenakannya itu. “Apakah kamu menyaksikan sendiri Abu Jahal menganiaya Muhammad?”

Budak perempuan itu mengangguk. “Demi Allah, tidak ada perbuatan lebih buruk daripada tindakan Abu Jahal kepada Muhammad pagi tadi.”

“Kurang ajar!” teriak Hamzah, tanpa berpikir bahwa ia dan Abu Jahal sebetulnya berada dalam satu kubu, sedangkan Muhammad berdiri di kubu yang lain.

“Ceritakan, apa yang telah dilakukan Abu Jahal kepada Muhammad.”

Salma lantas menuturkan, “Saat itu Muhammad sedang duduk sendirian di kaki Bukit Shafa. Tiba-tiba Abul Hakam, si Abu Jahal itu, mendatanginya dan memaki-maki dengan cacian yang kotor. Muhammad cuma diam, tidak membalas sepatah pun. Abu Jahal tambah naik pitam. Ia meraup pasir dan menaburkannya ke wajah Muhammad. Kemenakan engkau itu masih bergeming. Abu Jahal kian menjadi-jadi. Ia mengambil tahi binatang dan melemparkannya kepada Muhammad.

Karena yang dirudha-paksa, dianiaya, itu belum juga menimpalinya dengan suatu tindakan, Abu Jahal mengangkat dan membanting Muhammad, lalu menginjak-injak kepalanya. Sungguh, saya tidak sampai hati melihatnya lebih lama. Andai kata saya seorang lelaki, walaupun umpamanya saya bukan pengikut Muhammad, pasti Abu Jahal sudah saya seret dan saya lakukan kepadanya seperti yang telah dilakukannya atas diri Muhammad. Oh, laknat Allah kepada Abu Jahal.”

Salma kemudian menangis tersedu-sedu, membuat napas Hamzah berdengus-dengus. Ia tidak peduli lagi siapa Abul Hakam dan siapa Muhammad. Kalau begini, tidak ada golonganku dan golonganmu, partaiku dan partaimu. Sebab yang mencuat adalah hati nurani dan rasa kemanusiaan yang disakiti. Jangankan Muhammad, keluarganya sendiri. Seandainya Muhammad itu orang lain, atau unta yang tersesat dari pegunungan terpencil, siapa pun pasti akan murka mendengar perbuatan Abul Hakam yang sewenang-wenang itu.

Maka Hamzah segera berdiri, sambil mengenggam pangkal pedangnya, dan menyelempangkan anak panah serta busurnya. Dengan langkah panjang-panjang ia bergegas menuju Ka’bah. Ia menduga, Abu Jahal pasti sedang membual di sana. Si Biang Kebodohan itu tengah dikerumuni sejumlah konconya. Mereka adalah begundal-begundal yang selalu mengiyakan hampir semua ucapan Abu Jahal.

Tanpa menyampaikan salam seperti galib-Nya, Hamzah langsung menghardik Abu Jahal, “Hai, Cecurut! Betulkah kamu baru saja mencerca Muhammad dan menyiksanya?”

Abu Jahal menggigil mencium kemarahan Hamzah yang meluap. Seluruh anak buahnya juga tidak berani berkutik. Mereka sadar, yang dapat meladeni keandalan Hamzah dalam mengumbar kemarahan hanya Umar bin Khaththab. Yang lain-lainnya cuma semacam tikus berhadapan dengan serigala.

“Katakan sejujurnya. Sebab, kalau kau berani berbuat begitu kepada Muhammad, berarti berani pula menantang Hamzah. Ayo, katakan!” teriak Hamzah sambil menusukkan ujung anak panahnya ke leher Abu Jahal. Pemimpin kaum musyrikin itu tambah kecut.

Dengan sisa-sisa keberaniannya, akhirnya Abu Jahal menjawab lirih. “Sabar sebentar, wahai Biang Kemarahan. Kemenakan engkau itu sudah keterlaluan. Ia membodoh-bodohkan para pinisepuh kita. Ia menyatakan bahwa para leluhur kita telah tersesat, menyembah berhala-berhala. Ia telah menyebarkan agama baru yang menyebabkan masyarakat Quraisy terpecah-belah. Bukankah seharusnya engkau pun berbuat yang sama kepada Muhammad?”

Hamzah mendengus, “Hemm, aku sendiri bahkan mempunyai pikiran yang sejalan dengan Muhammad. Kalian sangat bodoh, menyembah-nyembah patung yang tidak punya daya apa-apa. Saksikanlah, sejak sekarang aku berikrar, tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan Muhammad itu memang benar utusan Allah.”

Semua yang mendengar pernyataan itu mendadak terbelalak. Mereka tidak menyangka Hamzah akan bersikap sejauh itu. Mereka hendak mencabut pedang dan mengeroyok Hamzah, tetapi Singa Gurun itu menusukkan mata anak panahnya ke leher Abu Jahal sampai darahnya mengucur deras.

Salah seorang kamerad Abu Jahal masih ada yang berani bersuara, “Hamzah, engkau telah tersihir oleh kemenakan engkau. Sungguh lancang. Engkau berani meninggalkan agama nenek moyang engkau. Bakal terkutuk engkau!”

“Kutuklah aku sesukamu. Aku tidak takut. Yang ku-takuti sekarang adalah laknat Allah,” jawab Hamzah, dengan suara lebih lantang dan sikap makin garang. “Hayo, siapa berani melarang aku mengikuti agama Muhammad, siapkan kepandaian dan senjatamu sebelum kubantai menjadi berkeping-keping.”

Tidak ada yang berani bercuit lagi. Abu Jahal menyuruh mereka diam. Lalu, tanpa menoleh, mereka meninggalkan Ka’bah setelah Hamzah melepas anak panahnya dari leher Abu Jahal. Darah masih menetes dari luka-luka di leher Abu Jahal. Darah itu adalah darah aniayanya terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang menggungah hati nurai Hamzah sehingga, hikmahnya, ia justru menginsyafi kedunguannya selama ini, telah menaati agama yang keliru dan sesat. 

Umar bin Khattab ra

“Membatalkan hukuman dengan diam-diam, bagiku lebih baik daripada melaksanakan hukuman dengan diam-diam.” (Umar bin Khathtab)

Masih segar dalam ingatan kaum muslim tatkala Rasulullah bersabda, “Aku bermimpi dalam tidur sedang memegang segelas susu. Kuminum hampir habis susu itu sampai rasa kenyang menyelusup di kuku-kukuku. Lalu sisanya kuberikan kepada Umar bin Khaththab.”

Waktu itu seorang sahabat bertanya, “Apa takwilnya, ya Rasulullah?”

Nabi menjawab, “Ilmu”

Nyatanya, semasa memegang jabatan khalifah, Umar bin Khaththab tersohor kekerasan dan “kegalakannya”. Akan tetapi, ilmunya menerangi semua sikap hidupnya, sehingga, dalam memutuskan suatu perkara, yang dipedomaninya adalah kecerdasan pemikirannya, bukan sentuhan perasaannya. Selaku penguasa, ia tidak terpengaruh oleh kemarahannya, kesedihannya, atau kepentingan pribadi dan keluarganya.

Ia pernah berkata, “Membatalkan hukuman dengan diam-diam, bagiku lebih baik daripada melaksanakan hukuman dengan diam-diam.” Sebab, membatalkan hukuman biasanya dilandasi oleh kebijaksanaan dan ampunan, sedangkan menjatuhkan hukuman bisa lantaran benci dan balas dendam. Apalagi jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Seorang ayah pada suatu saat datang kepada Khalifah Umar dan mengadu, “Anak perempuanku, wahai Amirul Mukminin, pernah terjerumus ke dalam dosa besar. Ia patah hati, lantas mengambil pisau dan mengerat lehernya sendiri. Untung aku memergokinya. Anak itu kuselamatkan, lukanya kurawat dengan baik hingga ia segar bugar kembali.”

“Hemm, mujur betul anakmu itu. Bunuh diri adalah tanda kekufuran. Ia harus bertobat,” ujar Umar.

Ayah itu menjawab, “Memang itulah yang dikerjakannya sesudah itu. Ia menyesal, dan bertobat dengan sungguh-sungguh. Sekarang ia dipinang seorang pemuda untuk menjadi istrinya. Apakah dosa itu harus kuceritakan kepada calon suaminya, wahai Amirul Mukminin?”

Umar bertitah lantang, “Apakah engkau bermaksud membongkar aib yang sengaja telah ditutupi oleh Allah? Demi Allah, seandainya kau lakukan hal itu, akan kuhukum engkau sedemikian rupa di depan masyarakat sehingga menjadi contoh pahit bagi yang lain.

Tidak, jangan kau ungkap kembali cacat yang sudah terhapus itu. Nikahkanlah putrimu sebagaimana layaknya seorang perempuan terhormat dan muslimat yang taat.”

Mungkin itulah yang dinamakan kearifan, dan tumbuh dari ruhani yang bersih dan adil. Umar tidak segan-segan menceritakan kesalahannya kepada hakim, dan meminta algojo mencambuknya sesuai dengan besar-kecilnya kesalahan yang dilakukannya. Di punggungnya membekas bilur-bilur cemeti algojo itu, tanpa sekelumit pun ia menampilkan kekuasaannya sebagai khalifah untuk diberi keringanan. Namun, Umar tidak ingin cacat orang lain dibeber-beberkan. Sebab, terhadap orang bersalah, yang diharapkan adalah memperbaiki, bukan memerosokkannya ke dalam kesalahan yang lebih besar.

Kepada bromocorah yang telah selesai menjalani hukumannya, misalnya, seharusnya masyarakat memberinya kesempatan untuk menebus dosa di masa lalu, bukan mengucilkannya sehingga ia terperangkap kembali ke dalam kesalahan.

Seorang laki-laki terengah-engah datang menghadap Umar. Mukanya merah padam dan suaranya menggeletar manakala ia bercerita, “Wahai Amirul Mukminin, saya melihat dengan mata kepala sendiri, pemuda Fulan dan pemudi Fulan berpelukan dengan mesra di belakang pohon kurma.”

Laki-laki itu berharap, Umar akan memanggil kedua anak muda yang asyik masyuk itu dan memerintahkan algojo supaya menderanya dengan cemeti.

Ternyata tidak. Khalifah Umar mencengkeram leher baju laki-laki itu. Sambil memukulnya dengan gagang pedang. Umar menghardik, “Kenapa engkau tidak menutupi kejelekan mereka dan berusaha agar mereka bertobat? Tidakkah kau ingat akan sabda Rasulullah, ‘Siapa yang menutupi aib saudaranya, Allah akan menutupi keburukannya di dunia dan akhirat?”

Dalam nalar Umar, bila kedua muda-mudi itu dipermalukan di tengah orang ramai, boleh jadi mereka akan nekat, lantaran tidak tahu ke mana hendak menyembunyikan diri. Bukankah bubu, perangkap, maksiat yang lebih parah akan mengurung mereka dalam nista berketerusan?

Pada kali yang lain, seorang muslim diseret ke hadapannya karena telah mengerjakan suatu dosa yang patut menerima hukuman cambuk. Tiga orang saksi mata telah mengemukakan pernyataan tentang kesalahan lelaki muslim itu. Tinggal seorang lagi, yang merupakan penentuan, apakah hukuman dera harus dijatuhkan ataukah diurungkan.

Ketika saksi keempat itu diajukan. Umar berkata, “Aku menunggu seorang hamba beriman yang semoga Allah tidak akan mengungkapkan kejelekan sesama muslim dengan kesaksiannya.”

Dengan lega saksi keempat itu menyatakan, “Saya tidak melihat suatu kesalahan yang menyebabkan lelaki itu wajib dihukum cambuk.”

Khalifah Umar pun ikut bernapas lega.

Nabi bersabda, “Allah senantiasa menerima tobat orang yang bertobat.”

(HR Bukhari dan Muslim) 

Abdurrahman bin Auf

Sahabat ini “diramalkan” akan masuk surga dengan merayap – tidak secepat kilat atau dengan kepala tegak seperti sahabat Nabi lainnya. Tapi ia tak berkecil hati. Hadist tersebut, katanya, bukan ramalan, melainkan peringatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Berita tentang dirinya telah tersebar. Tapi Abdurrahman bin Auf tidak bersedih mendengar ucapan Aisyah. Ia sendiri juga tahu, perkataan Aisyah itu benar, bukan isapan jempol. Memang Rasulullah pernah menyatakan, “Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merayap.”

“Ucapan tersebut disampaikan Rasulullah berulang kali,” ujar Aisyah kepada beberapa sahabat baiknya. Padahal Rasulullah menyatakan, sejumlah sahabat lainnya bakal masuk surga dengan kecepatan seperti kilat, atau sambil berjalan dengan kepala tegak. Mengapa Abdurrahman, yang dikenal begitu mulia budi pekertinya, dan sangat besar jasanya, justru dikatakan bakal masuk surga sambil merangkak? Apa kesalahannya?

Keheranan Aisyah kian menjadi-jadi pada waktu ia menyaksikan Abdurrahman bin Auf membawa barang dagangan terdiri atas berbagai macam keperluan hidup yang dimuat oleh 600 ekor unta beban dari Syam, lalu barang dagangan itu dibagi-bagikannya dengan cuma-cuma kepada penduduk Madinah, di masa Utsman bin Affan. Alangkah dermawannya Abdurrahman namun betapa malang peruntungannya!

Pada suat kesempatan, Abdurrahman mendatangi Aisyah dan berkata, “Umul Mu’minin telah mengingatkan saya akan sebuah hadits yang tak ‘kan pernah terlupakan seumur hidup.”

“Betul, itulah yang dikatakan Rasulullah tentang Tuan di hari pembalasan,” ujar Aisyah.

“Karena itulah saya akan memacu diri supaya lebih banyak lagi beramal shalih dan lebih ikhlas bersedekah. Sebab saya tahu, hadits yang semacam itu bukanlah merupakan ramalan, melainkan peringatan kepada saya untuk memperbesar ibadah dan pengabdian kepada Allah agar nasib saya tidak sejelek itu,” sahut Abdurrahman.

Aisyah tercenung, memikirkannya. Ia terkesan oleh jawaban Abdurrahman yang bestari. Dan Aisyah menyaksikan sendiri, betapa setelah itu Abdurrahman bin Auf lebih tekun melakukan kebajikan-kebajikan, dengan pelbagai cara dan kesempatan.

Itulah keikhlasan Abdurrahman sejak pertama kali memeluk agama Islam. Ia mendengar seruan Islam dari Abubakar Ash-Shidiq bersama Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka tidak berdalih-dalih lagi, sebab yakin betul akan kejujuran Abubakar dan kebenaran ajaran Muhammad SAW sebagai utusan Tuhan.

Sejak itu, saudagar yang cerdik dan kaya raya tersebut tidak pernah surut membela Rasulullah dalam perjuangan mensyiarkan Islam.

Abdurrahman termasuk sahabat yang telah tiga kali menjalankan hijrah demi agamanya. Sebagai sahabat dekat Nabi, ia di percaya oleh para sahabat lainnya dalam menyelesaikan berbagai perkara. Di antaranya masalah pengangkatan khalifah sepeninggal Rasulullah. Kepercayaan ini tidak dikhianatinya. Ia bertindak adil dan bersikap polos, karena kepercayaan para sahabat tersebut juga didasari keistimewaan-keistimewaannya sepanjang mendampingi Rasulullah semasa hidupnya.

Misalnya dalam peristiwa Perang Tabuk, yang terjadi pada tahun kesembilan bulan Rajab. Ekspedisi itu terkenal amat sukar dan sengsara, hingga kedatangan Nabi terlambat, dan sudah didahului Abdurrahman beserta beberapa ratus anak buahnya. Di tempat perhentian, Abdurrahman mengimami salat fardhu Zhuhur.

Persis ketika ia sedang bertakbir, Rasulullah pun tiba bersama pasukannya. Maka Rasulullah langsung berdiri di belakang Abdurrahman sebagai makmun. Dengan demikian Abdurrahman-lah satu-satunya sahabat yang pernah mengimami salat di muka Nabi tanpa mendapat perintah dari beliau. Bahkan Abu bakar sendiri hanya dua kali menjadi imam di depan Nabi, itu pun atas perintah beliau, karena Nabi sedang sakit.

Sikapnya yang terpuji adalah kebersahajaan dan ketulusannya. Pada waktu tiba di Madinah sebagai muhajirin, seperti para sahabat dari Makkah lainnya, Abdurrahman tidak membawa hartanya sepeser pun. Sahabatnya dari pihak Anshar menawarkan bantuan kepadanya.

Sahabat itu, Sa’ad bin Rabi’, berkata, “Saya memiliki kekayaan melimpah. Tuan ambillah sebagian, buat saya masih tersisa amat banyak. Dan saya juga mempunyai beberapa sahaya cantik. Silakan ambil salah satu untuk istri Tuan.”

Abdurrahman dengan terharu menyambut baik tawaran itu. Namun, secara halus ia menampik. “Maaf. Bila Tuan hendak menolong saya, tunjukkan saja jalan ke pasar.”

“Mengapa begitu?” tanya Sa’ad keheranan.

“Saya ini seorang pedagang. Dan bagi pedagang, lahan untuk mencari penghidupan adalah pasar, bukan di gudang Tuan,” sahut Abdurrahman seadanya.

Maka demikianlah yang terjadi. Setelah beberapa lama menetap di Madinah, Abdurrahman bin Auf menjadi hartawan kembali.

 

Ali bin Abi Thalib ra

Ali bin Abi Thalib RA, sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW, adalah kesatria sejati. Khalifah keempat dalam Islam ini merupakan model para sufi yang ingin menempuh jalan futuwwah (kekesatriaan). Kata futuwwah berasal dari fata, yang arti dasarnya adalah “pemuda” (syabb). Fata mencakup konotasi heroik (bersifat kepahlawanan) yang menjadi tak terpisahkan dari istilah futuwwah. Fata yang ideal, yang tercermin pada pribadi Ali, ditandai dengan sifat-sifat tidak egois, berani, dermawan, dan hormat.

Kisah di bawah ini menunjukkan dengan gamblang apa makna futuwwah itu dalam kehidupan dunia sufi. Imam Ali RA, khalifah terakhir dari al-khulafa’ar-rasyidin, sang Singa Allah, lambang ilmu pengetahuan, kedermawanan, dan kesetiaan, dikenal sebagai prajurit yang tak terkalahkan pada masanya.

Pada suatu peperangan, beliau telah menangkap seorang tentara dan pisau belati telah diletakkan di leher musuhnya. Tiba-tiba orang kafir musuhnya tersebut meludahi wajahnya. Seketika itu juga Ali berdiri, menarik belatinya, dan berkata kepada orang tersebut, “Membunuhmu adalah kurang bijaksana bagiku. Pergilah!”

Orang itu, yang telah menyelamatkan nyawanya sendiri dengan meludahi wajah Singa Allah yang terpuji itu, terkejut dan merasa kagum. “Wahai Ali,” dia berkata, “aku sudah tak berdaya, dan kau hampir saja membunuhku. Aku telah menghinamu dan sekarang engkau bebaskan aku. Mengapa?”

“Ketika engkau meludahi wajahku,” jawab Ali, “itu menimbulkan kemarahan pribadiku. Jika aku membunuhmu, berarti itu tidak kulakukan demi Allah, tetapi hanya untuk memenuhi nafsuku. Dan aku menjadi seorang pembunuh. Sekarang engkau bebas untuk pergi.”

Tentara musuh itu tergerak hatinya. Karena ketulusan hati yang ditunjukkan oleh Ali, dia memeluk agama Islam pada saat itu juga.

Pada pertempuran yang lain dalam melawan orang-orang kafir, Ali menghadapi prajurit muda gagah berani yang telah bergerak untuk menyerangnya. Ali berseru, “Wahai anak muda, apakah engaku tidak mengetahui siapa aku? Akulah Ali yang tak terkalahkan. Tak seorang pun dapat meloloskan diri dari sabetan pedangku. Pergilah dan selamatkan dirimu!”

Pemuda itu tetap mendekatinya dengan pedang terhunus di tangannya.

“Mengapa engkau ingin menyerang aku?” tanya Ali. “Dan mengapa engkau ingin mati?”

Pemuda itu menjawab, “Aku mencintai seorang gadis yang berjanji bahwa dia bersedia menjadi milikku bila aku membunuhmu.”

“Tetapi bagaimana kalau engkau yang mati?” tanya Ali.

“Apa yang lebih baik daripada mati demi seseorang yang kita cintai? Jawabnya. “Setidaknya, bukankah aku diringankan dari beban penderitaan cinta?”

Mendengar jawaban itu, Ali menjatuhkan pedangnya, menanggalkan topi bajanya, dan merentangkan lehernya.

Dihadapkan pada reaksi seperti itu, cinta dalam hati pemuda itu beralih kepada Imam Ali dan kepada satu-satunya yang dicintainya, yakni Allah SWT. Pemuda itu kemudian masuk Islam.

As-Sulami (936-1021 M) telah menuliskan dengan lengkap tentang konsep futuwwah ini dalam bukunya yang berjudul Kitab Al-Futuwwah. Semasa pemerintahan Raja An-Nasir al-Din Allah (1180-1125 M), gelar Futuwwah dianugerahkan kepada tokoh-tokoh terkemuka. Orang-orang tersebut pada upacara-upacara tertentu mengenakan jubah-jubah istimewa dan minum dari cangkir kekesatriaan. Citra cangkir dan jubah tersebut tampak pada lambang-lambang. Sumpah-sumpah yang mereka ikrarkan dihormati tanpa syarat.

Di Siria, anggota-anggota persaudaraan ini bertanggung jawab terhadap pemberontakan melawan bid’ah Rafidhah. Di Asia kecil, perkumpulan itu berkembang menjadi satu kelompok persaudaraan yang anggota-anggotanya tinggal di bawah bimbingan seorang syaikh, dan sering kali mereka bekerja pada tempat bekerja yang sama. Pakaian yang menunjukkan ciri khas mereka terdiri dari jubah panjang, topi wol putih serta sepatu khusus, dan masing-masing ada belati di sabuknya.

Dikisahkan, mereka sangat ramah kepada mufasir dan menentang keras pemimpin-pemimpin yang zalim. Di kemudian hari, futuwwah menjadi salah satu unsur penting dalam serikat-serikat kerja Islam.

Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Allah itu Mahalembut dan menyukai kelemahlembutan dalam segala hal.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Suraqah bin Malik

Saat akan melabrak Rasulullah, tiba-tiba kaki kudanya tak bisa bergerak. Dia sendiri terlempar dari punggung kudanya.

Ketika mendengar berita bahwa petinggi Quraisy menyediakan hadiah seratus ekor unta betina muda yang hampir beranak bagi yang bisa menangkap Muhammad bin Abdullah hidup atau mati, Suraqah bin Malik, dari Desa Madlaji, tergiur. Betapa tidak, untuk bisa memiliki unta sebanyak itu dalam waktu singkat, uh, mimpilah adanya. Kini, orang bisa mendapatkannya hanya dengan menyerahkan Muhammad. “Apa susahnya?” pikir Suraqah.

Apalagi, baru saja ada orang yang mengaku melihat Nabi Muhammad bersama Abu Bakar dan seorang pemandu di tengah jalan. “Tidak mungkin,” bantah Suraqah. “Mungkin itu orang yang sedang mencari ternaknya.”

Saat itu, pencarian terhadap Nabi Muhammad memang sedang digalakkan oleh Abu Jahal dan para petinggi Quraisy. Bahkan serombongan pemburu telah sampai di pintu Gua Tsur, tempat persembunyian Nabi bersama Abu Bakar. Tapi karena di pintu gua terbentang sarang laba-laba, mereka menjadi ragu. “Tidak mungkin tempat ini telah dilalui manusia,” pikir mereka.

Di dalam gua, Abu Bakar telah ciut nyalinya. Para pencari itu berada di gua tepat di atas kepala Abu Bakar, dan ia merasakan pijakan kaki mereka mondar-mandir mencari sasarannya. Air mata Abu Bakar meleleh di pipi menahan ketakutan.

“Mengapa engaku menangis, Abu Bakar?” tanya Nabi berbisik di telinga sahabatnya itu.

“Demi Allah, aku menangis bukan mengkhawatirkan kondisi keselamatanku, melainkan cemas bila terjadi sesuatu menimpa diri Tuan, ya Rasulullah,” jawab Abu Bakar.

“Jangan takut,” jawab Rasulullah membesarkan hati sahabatnya itu.. “Sesungguhnya Allah beserta kita.”

“Seandainya mereka melihat ke tempatnya berpijak, pasti akan melihat kita,” kata Abu Bakar, masih dengan nada khawatir.

“Apakah engkau masih ragu, Abu Bakar?” tanya Rasulullah. “Kalau kita ini berdua, Allah-lah yang ketiga.”

Ya, saat itu Nabi Muhammad sudah dalam kondisi terpepet. Semua akses jalan keluar Makkah telah diblokir kaum Quraisy, sehingga Gua Tsur itulah satu-satunya tempat yang bisa digunakan untuk bersembunyi. Abu Jahal, yang berada dalam rombongan itu, menyatakan keyakinannya bahwa Nabi Muhammad tidak berada jauh dari tempat itu. “Muhammad pasti mendengar ucapan kita dan melihat apa yang kita lakukan. Tapi sihir Muhammad menutup penglihatan kita,” katanya.

Akhirnya para pembesar Quraisy putus asa dan menghentikan pencariannya terhadap Rasulullah dan Abu Bakar. Lalu mereka menyebar sayembara untuk menangkap Nabi Muhammad.

Walaupun membantah informasi yang dikatakan salah seorang yang melihat Nabi Muhammad, Suraqah menggunakan ucapan orang tadi sebagai sumber info. Demi mendapat seratus ekor unta, dipacunya kudanya sekuat tenaga menuju ke sasaran yaitu lembah yang ditunjuk orang itu.

Dan terbukti, di sana ia melihat buruannya, Nabi Muhammad dan Abu Bakar. Namun ketika berusaha mendekati Nabi, tiba-tiba kudanya tersandung sehingga Suraqah terpelanting dari pelana. “Kuda sialan!” bentak Suraqah.

Tanpa mempedulikan rasa sakit, ia kembali ke punggung kuda dan memacunya. Namun untuk kedua kalinya kuda itu tersandung dan lagi-lagi Suraqah terpelanting.

Hatinya kesal dan merasa dirinya sial. Karena itu ia mengurungkan niatnya dan berencana akan pulang ke rumah. Tapi karena tamak, ingin mendapatkan seratus ekor unta betina itu, diteruskannya perburuan tersebut.

Belum begitu jauh Suraqah memacu kudanya, dilihatnya Nabi Muhammad dan Abu Bakar tengah melaju meninggalkan Makkah. Secara refleks tangannya mencoba meraih busur panah di punggungnya. Namun, apa daya….tangan itu tiba-tiba kaku, tak bisa digerakkan. Dan kaki kudanya terbenam ke dalam pasir serta menyebarkan debu yang menyebabkan matanya kelilipan. Ketika berusaha menyentakkan kakinya, sang kuda tidak bisa bergerak satu inci pun, dan kakinya itu malah semakin terbenam ke bumi.

Dia lalu berpaling kepada Rasulullah dan berteriak dengan memelas, “Hai kalian berdua, berdoalah kepada Tuhanmu, supaya kaki kudaku lepas. Aku berjanji tak akan menggangu kalian berdua.”

Rasulullah menengadahkan kedua tangannya dan berdoa, maka bebaslah kaki kuda Suraqah. Tapi, karena tamaknya, setelah bebas, dia lupa akan janjinya dan berusaha melabrak Rasulullah dengan kudanya. Namun, niat itu tidak terlaksana, karena kaki kuda itu kembali terbenam ke bumi, bahkan lebih dalam lagi.

Suraqah memohon belas kasihan kepada Rasulullah.”Ambillah perbekalanku, harta, dan senjataku. Aku berjanji atas nama Allah kepada kalian berdua, akan menyuruh kembali setiap orang yang berusaha melacak kalian,” katanya.

“Aku tidak butuh hartamu,” jawab Rasulullah. “Cukup kalau kamu suruh kembali orang-orang yang berusah membuntuti aku.” Kemudian Rasulullah berdoa, dan bebaslah kaki kuda Suraqah.

“Demi Allah, aku tidak akan mengganggumu lagi,” kata Suraqah setelah kaki kudanya lepas. Setalah itu ia bahkan menyatakan keyakinannya, “Agama yang Tuan bawa akan menang dan pemerintahan Tuan jaya. Aku mohon apabila kelak aku datang kepada Tuan, Tuan akan bermurah hati kepadaku. Tuliskanlah hal itu untukku.”

Rasulullah meminta Abu Bakar menulis pada sekerat tulang dan menyerahkannya kepada Suraqah sambil berkata, “Bagaimana jika pada suatu saat kamu memakai gelang kebesaran raja Persia?”

“Gelang kebesaran raja Persia?” tanya Suraqah terkejut.

“Ya, gelang kebesaran Kisra bin Hurmuz!” jawab Rasulullah meyakinkan.

Setelah itu Suraqah kembali ke Makkah dengan hati lega. Kepada orang-orang Quraisy yang ditemuinya sepanjang jalan, ia meyakinkan bahwa usaha pencarian mereka terhadap Nabi Muhammad akan sia-sia. “Telah kuperiksa seluruh tempat dan jalan yang mungkin dilaluinya, namun aku tidak menemukan Muhammad,” katanya. “Bukankah kalian tidak sepandai aku dalam hal melacak jejak?”

Beberapa saat kemudian, ketika ia merasa Rasulullah telah selamat sampai di Madinah dan aman dari jangkauan orang-orang Quraisy, barulah ia mengatakan yang sebenarnya.

Begitu Abu Jahal mendengar pengakuan itu, dia mencela Suraqah dan menghinanya sebagai pengecut yang tak tahu malu, dan bodoh, karena menyia-nyiakan kesempatan emas.

Namun Suraqah tak mau dihina seperti itu. “Demi Alah, kalau engkau melihat dan mengalami peristiwa yang aku alami ketika kaki kudaku amblas ke dalam pasir, engkau pasti yakin dan tak ‘kan ragu sedikit pun bahwa Muhammad itu jelas Rasulullah! Siapa yang sanggup menantangnya, silahkan!”

Waktu terus berlalu. Nabi Muhammad yang tadinya hijrah meninggalkan Makkah dengan sembunyi-sembunyi di malam gelap, kembali sebagai panglima, memimpin puluhan ribu prajurit yang berbaris rapi menyandang busur. Para pembesar Quraisy yang selama itu angkuh, sombong, dan sok kuasa, semua datang kepadanya dengan kepala tunduk, ketakutan, dan cemas. Mereka memelas minta dikasihani. “Hukuman apakah yang akan Tuan berikan kepada kami?”

Dengan nada lembut, Nabi menjawab, “Pulanglah, Tuan-tuan bebas!”

Suraqah juga ingin menggunakan kesempatan itu untuk menghadap Rasulullah, hendak menyatakan imannya dan tak lupa membawa tulang yang bertulis janji Rasul kepadanya sepuluh tahun lalu. “Saya menghadap beliau ketika berada di perkemahan pasukan berkuda orang-orang Anshar. Mereka menghalangiku dan memukulku dengan tombak,” kenangnya.

“Berhenti, berhenti… Mau ke mana kamu?” mereka mencegah.

“Tetapi saya tidak peduli, dan terus menyeruak, hingga berdiri di depan beliau, yang sedang duduk di atas pelana unta. Lalu kuangkat tulang bertulis janji beliau. ‘Ya Rasulullah, saya suraqah bin Malik’.”

“Mendekatlah kepadaku,” jawab Rasul. “Hari ini adalah hari menepati janji dan hari perdamaian!”

“Setelah berhadapan dengan beliau, saya menyatakan iman dan Islam kepadanya.”

Peristiwa itu hanya berjarak sembilan bulan dari wafatnya Baginda Rasul. Betapa sedihnya Suraqah. Wafatnya Rasulullah itu mengingatkan dirinya pada masa lalunya yang kelam. Tanpa sadar ia mengatakan ucapan Rasulullah kepadanya – “Bagaimana jika kamu memakai gelang kebesaran Kisra?” – yang ia yakini pasti akan terjadi.

Suraqah diberi umur panjang dan menyaksikan kemenangan pasukan Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khathtab.

Pada suatu hari menjelang akhir pemerintahan Khalifah Umar, Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash tiba di Madinah. Mereka melaporkan kemenangan yang dicapai tentara muslimin dan menyerahkan kepada khalifah harta rampasan yang diperoleh dalam perang di jalan Allah, sabilillah.

Ternyata harta rampasan itu berupa barang-barang emas, seperti mahkota yang bertatahkan intan dan mutiara, pakaian kebesaran kerajaan yang bersulam benang emas bertabur intan permata, gelang, kalung, anting, dan segala macam perhiasan raja dan pangeran yang sangat mahal, sehingga Khalifah Umar tampak kebingungan. “Alangkah jujurnya orang-orang yang menyerahkan semua ini,” ujar Khalifah sambil membolak-balik harta itu dengan tongkatnya.

Ali bin Abi Thalib, yang mendengar ucapan itu, menimpali, “Itu semua karena Anda bersih, sehingga jamaah Anda juga bersih. Tapi bila Anda curang, mereka akan turut curang.”

Dan entah kenapa, Khalifah kemudian memanggil Suraqah bin Malik. Kepadanya, Khalifah memakaikan busana kebesaran Kisra itu lengkap dari mulai celana, sepatu, pedang, gelang, pakaian kebesaran, dan mahkota, dan Khalifah sendiri kemudian memujinya. Alangkah hebatnya anak Desa Madlaji ini.”

Dengan demikian, terbuktilah ucapan Baginda Nabi kepada Suraqah sepuluh tahun sebelumnya – “Bagaimana jika suatu waktu kamu memakai gelang kebesaran Kisra?”

Khalifah kemudian menengadahkan tangan sambil berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pemberian-Mu ini, agar semua ini tidak mencelakakan aku dan umat ini.” Setelah itu semua harta rampasan itu dibagikan kepada kaum muslimin.

 

Hanzhalah bin Abu Amir

Ketika akan berangkat perang membela agama Islam, dia belum sempat mandi jinabat. Maka, ketika gugur sebagai syuhada, dia dimandikan oleh para malaikat.

Hanzhalah bin Abu Amir adalah anak pemimpin suku Aus yang terbilang kaya di Yastrib (Madinah) pada masa menjelang hijrahnya Nabi Muhammad ke sana. Ayahnya, Abu Amir bin Shaify, orang yang sangat benci kepada Islam. Pada zaman jahiliyah, dia mendapat julukan Abu Amir Sang Pendeta, tetapi julukan itu berbalik menjadi Abu Amir lelaki Fasik ketika Yastrib sudah dikuasai oleh kaum muslim.

Pernah dengan angkuh Abu Amir berkata, “Jika aku menyeru kaumku yang sudah masuk Islam, mereka pasti akan mengikutiku dan bergabung dengan kaum Quraisy.”

Tapi baru saja mulutnya menyebutkan nama dirinya, “Wahai bani Aus, aku Abu Amir..”, orang-orang Aus yang muslim menimpali, “Wahai lelaki fasik, Allah tidak akan memberkatimu!” Mereka mengucapkan kalimat itu sambil melancarkan serangan yang menyebabkan Abu Amir melarikan diri. Nah, di antara penyerang itu, adalah anaknya sendiri, Hanzhalah.

Hanzhalah, yang telah masuk Islam, akhirnya menikah dengan Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, anak sahabat bapaknya. Mertuanya itu dikenal sebagai tokoh munafik, menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Dia berpura-pura membela Nabi Muhammad dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan muslim bergerak ke medan laga, ia menarik diri bersama orang-orangnya, kembali ke Madinah.

Pagi harinya, ketika mendengar seruan untuk berjihad, Hanzhalah mengambil pedang dan baju perangnya, langsung bergabung dengan induk pasukan muslim dan pergi berperang. Dalam peperangan itu, dia berhasil mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan, dalam duel satu lawan satu, terjatuh dari kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.

Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. Dalam hitungan detik, nyawanya akan melayang. Tapi, dalam suasana genting itu, Abu Sufyan berteriak minta tolong, “Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.”

Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang, sehingga Hanzhalah tersungkur. Dalam kondisi yang sudah parah, darah mengalir begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak dari berbagai penjuru. Dan akhirnya…anak muda ini gugur sebagai syuhada.

Abu Sufyan, si pengecut itu, pun selamat dari tajamnya pedang Hanzhalah.

Seusai peperangan, Abu Amir dan Abu Sufyan mengitari medan laga dan mencari data sahabat-sahabat Nabi yang gugur. Biasanya mereka akan melampiaskan dendamnya dengan mencincang mayat-mayat musuhnya. Mereka menemukan jasad Kharijah bin Abu Suhair dari suku Khazraj, pemimpin Bani Kahzraj; Abbas bin Ubadah bin Fadhlah; Dzakwan bin Abu Qais, bangsawan Yastrib; dan tentu saja Hanzhalah.

“Anakku, kenapa kamu tidak mau mengikuti perintahku untuk tidak ikut berperang?” keluh Abu Amir dengan nada kesedihan. “Andaikan menaati perintahku, kamu akan hidup terhormat bersama kaum Aus.”

Kepada orang-orang Quraisy dia menyeru agar tidak mencincang jasad anaknya. Tapi dia sendiri mencincang bangkai orang lain.

Nabi Muhammad, yang diberi tahu hal itu, kemudian mendoakan, melihat ke langit, dan berkata kepada para sahabat, “Aku melihat, malaikat-malaikat sedang memandikan Hanzhalah bin Abu Amir di antara langit dan bumi dengan menggunakan air Muzn (mendung) yang diambil dari bejana perak.”

Kemudian beliau mengutus salah seorang sahabat untuk mengabarkan hal itu kepada istri Hanzhalah dan menanyakan apa yang dikerjakan suaminya sebelum pergi ke medan perang.

“Ketika mendengar panggilan perang, Hanzhalah dalam keadaan junub dan belum sempat mandi…,” kata Jamilah.

Beruntunglah Hanzhalah, syuhada yang telah dimandikan oleh para malaikat. Dia memperoleh kedudukan yang tinggi di haribaan Allah SWT. Itulah sebaik-baik tempat yang tidak semua orang mampu meraihnya.

Nabi Bersabda, “Allah SWT berfirman: Tiada balasan bagi hamba-Ku yang berserah diri saat Aku mengambil sesuatu yang dikasihinya di dunia, melainkan surga.” (HR Bukhari)

 

Ashim bin Tsabit

Jasad pahlawan Perang Uhud ini hampir termakan sumpah Sulafah. Namun, Allah SWT melindunginya dari kebiadaban niat perempuan Quraisy itu.

Siang itu, kaum Quraisy, baik sayyid (bangsawan) maupun ‘abid (hamba sahaya), semuanya keluar untuk memerangi Muhammad bin Abdullah di Uhud. Kedengkian dan nafsu hendak membunuhnya di Badar masih membakar darah mereka. Tidak hanya laki-laki, bahkan perempuan bangsawan Quraisy pun turut pula ke Uhud untuk menggelorakan semangat perang para pahlawan mereka dan menggelorakan semangat para lelaki bila ternyata kendur atau melempem.

Di antara para perempuan itu terdapat Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb; Raithah binti Munabbih, istri ‘Amr bin Ash; Sulafah binti Sa’ad, istri Thalhah, serta ketiga anak lelakinya, Musafi, Julas, dan Kilab; dan lain-lain.

Ketika pasukan muslim dan musyrikin telah berhadap-hadapan di Uhud, dan api peperangan mulai menyala, Hindun binti ‘Utbah dan beberapa perempuan lain berdiri di belakang pasukan laki-laki. Mereka memegang rebana, memukulnya sambil menyanyikan lagu-lagu perang. Lagu-lagu itu membakar semangat prajurit berkuda, dan membuat para suami seperti kena sihir.

Setelah pertempuran itu usai, dan ternyata kaum muslimin menderita kekalahan, para perempuan Quraisy pun berlompatan, berlari-lari ke tengah lapangan pertempuran, mabuk kemenangan. Mereka merusak mayat-mayat kaum muslimin yang tewas dalam pertempuran, dengan cara yang sangat keji. Perut mayat-mayat itu mereka belah, matanya dicongkel, telinga dan hidung mereka dipotong.

Bahkan ada seorang di antara mereka tidak puas dengan cara seperti itu. Hidung dan telinga mayat-mayat itu dibuatnya menjadi kalung, lalu dipakai, untuk membalaskan dendam bapak, saudara, atau paman mereka yang terbunuh dalam Perang Badar.

Sulafah binti Sa’ad lain pula gayanya. Hatinya guncang dan gelisah menunggu kemunculan suami dan ketiga anaknya. Dia berdiri bersama kawan-kawannya yang sedang dimabuk kemenangan. Setelah lama menunggu dengan sia-sia, akhirnya dia masuk ke lapangan pertempuran, sampai jauh ke dalam. Diperiksanya satu per satu wajah mayat-mayat yang bergelimpangan.

Tiba-tiba dia menemukan mayat suaminya terbaring berlumuran darah. Dengan pandangan hampa, dilayangkannya pandangan ke segala arah, mencari anak-anaknya. Tak berapa lama, didapatinya Musafi dan Kilab pun telah tewas. Sedangkan Julas masih hidup, dengan sisa-sisa napasnya.

Dipeluknya tubuh anaknya yang dalam keadaan sekarat itu. Kemudian kepala anaknya itu dia taruh dipahanya, dibersihkannya darah pada kening dan mulut anak itu. Air matanya terkuras oleh penderitaan yang hebat yang dialaminya hari itu. “Siapa lawan yang telah melukaimu, Nak?” Sulafah bertanya sambil mengguncang kepala anaknya. “Siapa?”

Di sela-sela napasnya yang tersengal-sengal, Julas masih mampu menyebut nama, “Ashim bin Tsabit. Dia pula yang membunuh Ayah dan…”Belum habis dia bicara, napasnya telah putus, nyawanya telah dicabut malaikat maut.

Ibu tiga anak itu menangis sekeras-kerasnya. Kemudian, dari mulutnya terlontar sumpah, demi Lata dan Uzza, tidak akan makan dan menghapus air mata, kecuali bila orang Quraisy membalaskan dendamnya terhadap ‘Ashim bin Tsabit, dan memberikan batok kepalanya untuk dijadikan mangkuk tempat minum khamar. Dia berjanji akan memberikan hadiah sebanyak yang diminta, kepada orang yang dapat menyerahkan ‘Ashim kepadanya, hidup atau mati.

Sumpah Sulafah itu segera tersiar dengan cepat di seluruh telinga warga Quraisy dan mereka menganggapnya sebagai perlombaan. Setiap pemuda Makkah berharap dapat memenangkan lomba tersebut untuk meraih hadiah besar itu. Maklum, Sulafah adalah wanita kaya.

Seusai Perang Uhud, kaum muslimin kembali ke Madinah. Mereka membicarakan pertempuran yang baru saja mereka alami dengan perasaan sedih atas kepergian pahlawan-pahlawan yang mati syahid, memuji keberanian orang-orang yang luka, dan sebagainya. Mereka pun tak lupa menyebut keberanian ‘Ashim bin Tsabit dan mengaguminya sebagai pahlawan yang tak terkalahkan. Mereka kagum, bagaimana ‘Ashim mampu merobohkan tiga bersaudara putra Thalhah sekaligus.

Seorang di antaranya berkata, “Itu masalah yang tak perlu diherankan. Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan kepada para sahabat beberapa saat sebelum berkobar Perang Badar agar mereka berperang seperti ‘Ashim!” Ya, saat itu ‘Ashim mengutarakan kiatnya berperang kepada Baginda Nabi, yaitu, “Jika musuh berada di hadapanku seratus hasta, aku panah dia. Jika musuh mendekat dalam jarak tikaman lembing, aku bertarung dengan lembing sampai patah. Jika lembingku patah, kuhunus pedang, lalu aku main pedang.”

Saat itu Nabi menimpali, “Begitulah berperang. Siapa yang hendak berperang, berperanglah seperti ‘Ashim.”

Tak berapa lama setelah Perang Uhud, Rasulullah di Madinah memilih enam orang sahabat untuk melaksanakan suatu tugas penting di Makkah, dan mengangkat ‘Ashim sebagai pemimpinnya. Keenam orang pilihan ini kemudian berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepada mereka. Setelah berjalan beberapa hari, dan mereka sudah mendekati Makkah, kaum Hudzail memergoki dan segera mengepung dengan ketat.

“Kalian tidak akan mampu melawan kami,” kata mereka. “Kami tidak akan membunuh jika kalian mau menyerah.” Dalam situai yang terdesak seperti itu, keenam sahabat Rasul itu saling berpandangan, seolah bermusyawarah, sikap apa yang harus diambil segera.

“Aku tidak dapat mempercayai janji orang-orang musyrik itu,” kata ‘Ashim. Kemudian diingatkannya sumpah Sulafah. Ya, rupanya sumpah tersebut sampai juga ke telinga ‘Ashim. Lalu dia menghunus pedangnya sambil berdoa, “Ya Allah, aku memelihara agama-Mu dan bertempur karenanya. Maka lindungilah daging dan tulangku, jangan biarkan seorang jua pun musuh-musuh-Mu menjamahnya.”

Kemudian ia maju menyerang pengepungannya, diikuti dua orang kawannya. Mereka bertiga bertempur mati-matian hingga akhirnya roboh dan tewas satu per satu. Sedangkan yang tiga lainnya menyerah sebagai tawanan. Namun, orang-orang Hudzail itu pun tak membiarkan mereka hidup.

Ketika mengetahui bahwa salah seorang korbannya adalah ‘Ashim bin Tsabit, orang-orang Hudzail itu sangat bergembira, membayangkan hadiah besar yang akan mereka terima dari Sulafah. Karena terlalu girangnya, mereka bertindak tidak hati-hati. Setelah menyamarkan tempat pertempuran itu, mereka segera melapor kepada Sulafah dan menagih janjinya. Namun, Sulafah juga tidak segera mempercayai laporan itu.

“Mana buktinya?” Sulafah bertanya.

Tentu saja mereka tidak dapat membuktikan, karena jasad ‘Ashim masih mereka sembunyikan di tempat kejadian. Mereka lalu berjanji akan membawanya keesokan harinya.

Di luar dugaan, hal itu segera tersiar kepada orang-orang Quraisy. Mereka tidak tinggal diam, dan saling berlomba untuk menyogok kaum Hudzail dengan hadiah-hadiah yang menarik. Mereka juga berebut batok kepala ‘Ashim.

Untuk menyerahkan batok kepala ‘Ashim kepada Sulafah, orang-orang Hudzail ini kembali ke tempat kejadian dan ingin mengambil mayat ‘Ashim. Namun, begitu sampai di sana, mereka menghadapi peristiwa aneh. Sekelompok binatang serangga tiba-tiba datang menyerang, menggigit muka, mata, kening, dan sekujur badan mereka, seolah mengusir mereka agar tidak dapat mendekati jenazah ‘Ashim. Usaha itu dilakukan berkali-kali tapi selalu gagal.

“Sialan betul seranga jahanam itu,” kata pemimpin orang-orang Hudzail itu sengit. “Kita tunggu sampai malam, siapa tahu serangga itu akan pergi bersama datangnya gelap.”

Dengan bersunggut-sunggut karena letih dan lapar, dan sumpah serapah yang tidak kunjung henti, mereka duduk menanti hingga malam menjelang. Tapi, setelah senja datang dan alam berselimut malam, awan tebal hitam menutupi langit. Kilat dan petir sambung-menyambung, diikuti guyuran air hujan yang laksana ditumpahkan dari langit. Belum pernah terjadi hujan selebat itu sepanjang mereka tahu.

Hati orang-orang Hudzail menjadi kian kecut. Air hujan itu dengan cepat menggelontor dari tempat ketinggian, menutup sungai dan permukaan lembah. Banjir pun tak terelakkan. Melanda segala yang ada, termasuk tempat disembunyikannya mayat ‘Ashim.

Setelah subuh tiba, mereka bangkit dan mencari tubuh ‘Ashim di semua tempat. Namun, usaha mereka sia-sia, bahkan mereka tidak menemukan bekas-bekasnya. Banjir telah menghanyutkan jasad ‘Ashim dan teman-temannya jauh sekali. Hilang, tak diketahui ada di mana.

Ya, Allah Ta’ala mendengar doa ‘Ashim bin Tsabit. Dia melindungi mayat ‘Ashim yang suci, sesuai dengan permintaannya, “Jangan sampai dijamah oleh tangan-tangan kotor orang-orang musyrik.” Dan Dia memelihara batok kepala ‘Ashim yang mulia, agar tidak dijadikan tempat minum khamar oleh Sulafah. Sungguh Allah Maha Menepati Janji.

Nabi SAW bersabda, “Allah melarang kamu bersumpah atas nama bapakmu. Siapa yang hendak bersumpah, hendaklah bersumpah dengan nama Allah.” (HR. Bukhari)

 

Ukasyah

Hasrat Mencium Stempel Kenabian.

Sahabat yang satu ini memang lihai. Untuk bisa melihat punggung dan mencium stempel kenabian, dia berpura-pura menagih “piutang” berupa pukulan di punggung kepada Rasulullah.

“Siapa di antara kalian yang pernah berpiutang kepadaku, apakah piutang harta atau yang lain?” Kalimat itu meluncur dari lisan Baginda Nabi Muhammad seusai beliau mengimami shalat Ashar kepada para jamaah dan sahabat. Tentu saja kata-kata itu sangat mengagetkan mereka. Namun tidak ada yang menjawab.

“Atau barangkali di antara kalian ada yang merasa terlukai olehku, baik luka badan maupun luka hati?” Beliau melanjutkan ucapannya. “Tagihlah sekarang juga. Aku ingin melunasi segala utangku, termasuk utang pukulan badan, dari kalian, karena hari ini aku mampu membayarnya. Ini aku minta kepada kalian karena kelak aku tak bakal sanggup menghadapi pertanyaan Allah di hari kiamat. Tagihlah sekarang juga, aku akan ikhlas membayarnya, termasuk yang merasa tersakiti oleh perbuatanku.”

Siang itu Rasulullah sengaja minta para sahabat berkumpul. Namun, pertanyaan itu justru terasa aneh di telinga dan hati mereka sehingga semuanya terdiam seribu bahasa. Masjid terasa lengang meski disesaki jamaah. Dan agaknya Baginda Rasul sengaja membiarkan hal itu agar ucapan beliau bisa dicerna para jamaah dengan baik. Namun, apa yang mesti dijawab dengan pertanyaan beliau, jangankan memberi pinjaman kepada beliau, asalkan beliau bersedia meminta sesuatu apa, mereka menganggap hal itu sebagai kehormatan luar biasa. Akibatnya para jamaah merasa terbius dan tak mampu membuka mulut hanya untuk sekedar mengiyakan atau menolak.

Setelah berlangsung agak lama, tiba-tiba seseorang mengancungkan tangan, “Hamba Ukasyah, ya Rasul, ingin menagih utang kepada Baginda .”

Seketika ucapan itu mengagetkan seluruh hadirin, tapi tidak demikian dengan Baginda Nabi, beliau bertanya, “Utang uang, atau…?”

“Bukan ya Rasul, hamba ingin menagih pukulan kepada Tuan. Hamba masih ingat, Tuan pernah menyakiti diri hamba. Kalau memang itu yang Tuan maksudkan, hamba akan membalas memukul Tuan,” kata Ukasyah.

“Baiklah, Ukasyah, tapi apa yang pernah kau alami dengan perbuatanku?” Baginda Nabi balik bertanya.

Belum sempat Ukasyah menjawab pertanyaan itu, Abubakar dan Umar berdiri serempak. Dengan wajah membara, Umar, yang temperamental, langsung menghardik Ukasyah “Ukasyah, jaga mulutmu kalau tidak ingin aku pecahkan kepalamu. Lancang benar kamu berkata seperti itu kepada Baginda Nabi.”

Namun Rasulullah segera menengahi. “Sabar, sabar, sahabatku, duduklah dan biarkan Ukasyah berkata jujur.”

Lalu Nabi memalingkan muka beliau kepada Ukasyah. “Apakah yang pernah aku lakukan pada dirimu. Katakan yang sebenarnya, tidak usah takut.”

Meski dengan nada ketakutan, Ukasyah berkata, “Pada saat Perang Badar, hamba berkuda berjalan di samping Tuan, tiba-tiba tongkat Tuan menyentuh badan hamba dan melukai punggung hamba…”

Sampai di situ, Ali bin Abi Thalib tiba-tiba menimpali. “Pantaskah kamu menagih pukulan seperti itu terhadap Rasulullah, yang selama ini kita hormati? Toh, hal itu tidak beliau sengaja.”

“Tenanglah Ali,” kata Baginda Nabi. “Marilah kita dengarkan apa pengakuannya. Aku ikhlas menerima permintaannya kalau memang hal itu pernah aku lakukan terhadap dirinya.” Kemudian beliau mempersilakan Ukasyah melanjutkan kalimatnya.

“Ya, sejujurnya begitulah pengalaman hamba. Oleh karena itu, sesuai dengan ucapan Tuan di awal pertemuan ini, hamba ingin menagih janji Tuan tadi.”

“Kalau memang demikian, silakan kamu ke depan dan pukullah punggungku ini,” jawab Nabi sambil menyediakan punggungnya.

Kepada Bilal bin Rabah, Nabi memerintahkan agar menyediakan tongkat yang pernah melukai punggung Ukasyah, “Silakan, Ukasyah, pukullah punggungku ini,” kata Nabi.

Melihat setuasi semacam itu, para sahabat menahan geram. Ada yang menutup mukanya, tapi ada juga yang melotot ingin membunuh Ukasyah, yang dinilai lancang itu.

Tapi Ukasyah justu belum puas. “Ketika badan hamba terpukul oleh tongkat Tuan, hamba tidak mengenakan baju. Karena itu Tuan harus membuka baju juga sekarang,” katanya.

Ucapan Ukasyah itu terasa kurang ajar di kuping Hasan dan Husain, cucu Baginda Nabi. Sebagai ungkapan kesalnya, mereka berdua,yang berada tidak jauh dari kakeknya itu, serempak berdiri.

Namun apa reaksi Nabi? “Sabar cucuku, biarkan dia menggunakan haknya.”

Rasulullah kemudian membuka baju, dan tampaklah kulit yang putih berkilau pada punggungnya. Kepada Ukasyah beliau berkata, “Pukullah segera, wahai Ukasyah.”

Namun, Ukasyah tidak segera memenuni permintaan itu. Diperhatikannya punggung Nabi. Lalu dengan cepat diciumnya stempel kenabian yang berada di punggung Rasulullah. Sebenarnya itu tujuannya, karena tidak semua orang bisa melihat dan mencium stempel kenabian itu.

Setelah puas melakukan itu, tiba-tiba Ukasyah bersimpuh dan menangis, “Wahai Rasulullah, junjungan kami, tidak sekali-kali hamba bermaksud memukul Tuan. Sudah tentu perbuatan demikian merupakan perbuatan yang tidak beradab. Hal itu tidak pernah terbesit dalam hati hamba. Maafkanlah hamba, ya Rasulullah, karena tujuan hamba hanya ingin mencium stempel kenabian dan melihat punggung Tuan yang demikian halus dan berkilau serta baunya yang wangi. Sekali lagi hamba mohon maaf atas kelancangan ini.”

Ukasyah mengakhiri kata-katanya, namun tangisnya belum juga reda. Suasana hati yang demikian juga terasa di dada seluruh hadirin.

“Tenanglah, Ukasyah,” kata Nabi meredakan suasana. “Kamu adalah sahabatku yang baik.”

Sejak itu para sahabat merasa lega dan memandang Ukasyah dengan hati terharu. Beberapa tahun kemudian Nabi wafat dengan tenang di Madinah. 

Abdullah bin Salam

Dia seorang pendeta yang hatinya bergetar ketika bertemu Rasulullah, dan akhirnya menjadi sahabat yang setia.

Hushain bin Salam adalah kepala pendeta Yahudi di Madinah. Meskipun penduduk Madinah berlainan agama dengannya, mereka menghormati Hushain, karena dia dikenal sebagai orang yang taqwa, baik hati, istiqamah, dan jujur.

Kehidupan Hushain tenang dan damai. Waktu baginya sangat berharga dan bermanfaat. Dia membagi waktunya dalam tiga bagian: sepertiga pertama digunakan di gereja untuk mengajar dan beribadat, sepertiga kedua digunakan di kebun untuk merawat, dan membersihkan kebun, dan sepertiga terakhir untuk membaca kitab Taurat dan memperdalam ilmu yang diajarkan agama.

Setiap kali bertemu dengan ayat yang memberi kabar gembira (bisyarah) tentang kebangkitan seorang nabi di Makkah, untuk menyempurnakan risalah para nabi yang terdahulu dan sebagai penutup kebangkitan para nabi, selalu dibacanya berulang-ulang, dipelajarinya lebih mendalam sifat-sifat atau ciri-ciri nabi yang ditunggu-tunggu itu.

Dia sangat gembira setelah tahu bahwa nabi yang akan muncul itu akan hijrah ke negerinya, Madinah. Maka setiap dibacanya ayat-ayat yang memberitakan kabar itu, terlintas di hatinya akan kedatangan nabi tersebut, lalu dia berdoa kepada Allah semoga umurnya dipanjangkan untuk menyaksikan kebangkitan nabi yang ditunggu-tunggu, semoga dapat kesempatan bertemu dengannya, dan menjadi orang pertama yang menyatakan iman kepadanya.

Allah mengabulkan doa Hushain dengan memanjangkan umurnya sampai kebangkitan Nabiyyul Huda war Rahmah. Allah menetapkan keberuntungan baginya bertemu dan bersahabat dengan nabi yang dinanti-nantikannya, serta iman dengan agama yang dibawanya.

Maka ketika mendengar berita tentang kemunculan Rasulullah SAW, Hushain segera meneliti nama, silsilah, sifat-sifat, zaman, dan tempat kebangkitannya, dicocokkan dengan yang tertulis dalam kitab Taurat, sehingga ia yakin tentang kenabiannya. Dengan hati-hati dan cermat ia memastikan tentang kebenaran dakwahnya. Meski telah memperoleh kepastian, ia menyimpan untuk dirinya sendiri dan akan membukanya pada waktu yang tepat.

Pada suatu ketika, saat ia tengah bekerja membersihkan pohon kurma, seorang munadi (juru seru) memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa Rasulullah sudah berada di Madinah. “Allahu Akbar, Allahu Akbar,” Hushain berseru demi mendengar hal itu.

Bibinya, Khalidah binti Harits, yang duduk di bawah pohon kurma, menukas, “Allah mengecewakan kamu, demi Allah! Seandainya kamu mendengar kedatangan Musa bin Imran, kamu toh tidak dapat berbuat apa-apa lebih dari itu!”

“Hai, Bibi, demi Allah, dia itu adalah saudara Musa, dan agamanya sama,” jawab Hushain. “Dia dibangkitkan dengan agama Musa juga.”

“Diakah nabi yang selalu kamu ceritakan itu, membenarkan dan menyempurnakan risalah-risalah Tuhannya?” tanya si bibi.

“Ya, betul, Bibi,” jawab Hushain.

“O, jadi diakah orangnya?”

Kemudian Hushain berusaha menemui Rasulullah, berdesak-desakan dengan orang ramai, sebelum akhirnya dapat berhadapan dengan Rasulullah. Saat itu Hushain mendengar Rasulullah mengucapkan kata-kata yang menyentuh hatinya. “Hai Manusia, sebar luaskanlah salam. Berilah makan orang yang kelaparan. Shalatlah tengah malam, ketika orang banyak sedang tidur nyenyak. Pasti kamu masuk surga dan bahagia.”

Selanjutnya Hushain bercerita, “Aku pandangi beliau dengan ilmu firasat, dan mataku lekat padanya. Aku yakin, wajahnya tidak menunjukkan wajah orang pembohong. Lalu kuhampiri beliau sambil mengucapkan dua kalimah syahadat: Aku mengaku tidak ada Tuhan selain Allah, dna sesungguhnya Muhammad rasul Allah.

Beliau menoleh kepadaku, seraya bertanya, ‘Siapa Tuan?’

‘Hushain (kuda kecil) bin Salam’, jawabku.

‘Mestinya Abdullah (hamba Allah) bin Salam,’ kata beliau mengganti namaku dengan nama yang lebih baik.

Aku setuju…!Abdullah bin Salam…!’Demi Allah, yang mengutusmu dengan agama yang benar, mulai hari ini aku tidak suka lagi memakai nama yang lain selain Abdullah bin Salam,’ kataku.

Sesudah itu aku pulang ke rumah. Lalu aku ajak istri, anak-anak, dan keluargaku masuk Islam. Bibi Khalidah, yang sudah cukup tua, pun turut masuk Islam. Namun, kepada mereka aku minta agar hal itu dirahasiakan untuk sementara waktu.

‘Ya Rasulullah, kaum Yahudi suka berbohong dan sesat. Aku harap, Tuan memanggil pemimpin mereka dan ajaklah mereka masuk Islam. Namun, tolong sembunyikan aku dan jangan katakan bahwa aku telah masuk Islam.’

Di hadapan pemimpin kaum Yahudi itu, Rasulullah mengingatkan mereka tentang ayat-ayat kitab Taurat dan mengajak mereka masuk Islam. Tapi mereka membantah dan mengajak berdebat tentang kebenaran. Semua itu aku dengar dengan jelas.

Ketika Rasulullah merasa tidak ada harapan mereka akan beriman, beliau bertanya, ‘Bagaimana kedudukan Hushain bin Salam di hadapan kalian?’

‘Dia pemimpin kami, kepala pendeta kami, dan orang alim kami,’ jawab mereka.

‘Bagaimana pendapat kalian jika dia masuk Islam, maukah kalian masuk Islam bersama dia?’ tanya Rasulullah.

‘Tidak mungkin! Tidak mungkin dia masuk Islam,’ jawab mereka.

Aku keluar dari kamar Rasulullah dan menemui mereka. ‘Hai, orang-orang Yahudi,’ kataku, “bertaqwalah kalian kepada Allah, terimalah agama yang dibawa Muhammad. Demi Allah, sesungguhnya kalian sudah tahu bahwa Muhammad itu benar Rasulullah. Bukankah kalian telah membaca dalam Tuarat nama dan sifat-sifatnya? Aku mengakui bahwa sesungguhnya dia Rasulullah, dan aku beriman kepadanya, aku membenarkan segala ucapannya, dan aku meyakininya.’

‘Kau bohong!” kata mereka. ‘Sesungguhnya kau jahat dan sangat bodoh!’ kemudian sumpah serapah pun mengalir dari mulut-mulut mereka, diarahkan kepadaku.

Kepada Rasulullah, aku berkata, ‘Begitulah mereka. Sesungguhnya orang Yahudi suka berbohong dan pandai berkata yang batil. Mereka pandai menipu dan berbuat kejahatan’.”

Abdullah bin Salam menerima Islam seperti orang kehausan yang menemukan air di telaga yang bening. Dia sangat senang membaca Al-Quran sehingga lidahnya selalu basah dengan ayat-ayat Allah yang mulia itu. Dia mengasihi Nabi SAW dan selalu dekat dengan beliau. Dia selalu menjaga diri untuk beramal dan mengharapkan surga sampai suatu saat Rasulullah memberinya kabar gembira dengan surga dan diketahui para sahabat.

Seorang sahabat berkisah, “Pada suatu hari aku sedang belajar di sebuah halaqah (kelompok belajar) masjid Rasulullah di Madinah. Dalam halaqah itu terdapat seorang tua yang ramah dan menyenangkan hati. Penampilannya sangat manis dan mengesankan semua orang. Ketika orang tua itu pergi, jamaah berkata, ‘Siapa yang ingin menengok laki-laki penduduk surga, tengoklah orang itu.’

Aku bertanya, ‘Siapa dia?’

‘Abdullah bin Salam,’ jawab mereka.

‘Demi Allah, akan aku ikuti orang itu,’ kataku dalam hati.

Lalu kuikuti dia sampai ke rumahnya di luar kota Madinah. Setiba di sana aku minta izin masuk dan dipersilakan.

‘Anak muda, apa keperluanmu datang kemari?’ dia bertanya.

‘Aku mendengar orang-orang bicara tentang diri Bapak ketika Bapak keluar dari masjid tadi,’ kataku. ‘Kata mereka: Siapa yang ingin menengok lelaki penghuni surga, tengoklah orang itu.

Mendengar ucapan mereka itu, aku ikuti Bapak hingga sampai kemari, karena ingin tahu mengapa orang banyak mengatakan bahwa Bapak penduduk surga.’

Jawabnya, ‘Allah yang paling mengetahui tentang penduduk surga.’

Kataku, ‘Ya tentu, tapi pasti ada sebabnya mengapa mereka berkata demikian.’

‘Akan kujelaskan kepadamu sebab-sebabnya,’ jawab orang tua itu.

‘Silakan, Pak, semoga Allah membalas kebaikan Bapak dengan yang lebih baik,’ kataku.

‘Pada suatu malam ketika Rasulullah masih hidup, aku bermimpi. Seorang laki-laki datang kepadaku seraya berkata: Bangun, bangun!

Aku bangun, lalu ditariknya tanganku. Tiba-tiba aku melihat sebuah jalan di sebelah kiriku. ‘Ke mana nih?’ aku bertanya.

‘Jangan turuti jalan itu,’ jawabnya. ‘Itu bukan jalanmu.’

Tiba-tiba aku melihat jalan terang benderang di sebelah kananku.

‘Lewatilah jalan itu,’ katanya kepadaku.

Aku telusuri jalan itu hingga sampai ke sebuah taman luas yang asri oleh pepohonan yang hijau dan indah. Di tengah taman terdapat sebuah tiang besi, pangkalnya tertancap di tanah dan ujungnya sampai ke langit. Di puncaknya terdapat sebuah halaqah berlapis emas. Kata orang itu, ‘Panjatilah tiang itu.’

‘Aku tidak bisa,’ jawabku.

Maka datang seorang khadam yang membantuku naik hingga ke puncak tiang besi itu dan aku dibawa ke halaqah tadi. Di sana aku tinggal sampai pagi dengan perasaan yang sangat bahagia.

Setelah pagi hari, aku segera menemui Rasulullah dan menceritakan mimpiku itu.

Beliau bersabda, ‘Jalan yang engkau lihat di sebelah kiri adalah jalan penduduk neraka (ash habusysyimal), dan jalan yang engkau lalui adalah jalan penduduk surga (ashhabul yamin). Taman yang menjadikan engkau rindu dengan kehijauannya, itulah Islam. Adapun tiang yang terpancang di tengah-tengah taman itu adalah tiang agama. Sedangkan halaqah itulah pegangan yang kokoh, kuat, yang dengannya engkau senatiasa harus berpegangan sampai mati.”

Seutama-utamanya manusia, bagi Allah SWT, ialah yang mendahului Salam (HR At-Tirmidzi)